Adi Gunawan
Beranda Blog Opini Garizah Hidup dan Mati

Garizah Hidup dan Mati

Ilustrasi/Freepik

Manusia akan terus tumbuh dan berkembang. Meski diterpa berbagai rintangan, setiap individu memiliki cara tersendiri untuk bertahan. Perilaku ini dimiliki setiap manusia sejak lahir. Garizah, istilah yang disebut banyak orang sebagai insting atau naluri.

Menurut teori psikoanalitik Freudian dua unsur naluri mendorong perilaku manusia, yaitu naluri hidup (eros) dan naluri kematian (Thanatos). Dua hal ini ibarat Yin dan Yang, kekuatan yang saling melengkapi namun berlawanan. Keduanya berinteraksi menciptakan sistem yang dinamis.

Kita tahu dalam hidup ada banyak istilah yang menggambarkan perbedaan, ada baik dan buruk. Ada suka-duka. Ada bingit, ada senang. Lagipula, bukankah semua yang hidup pada akhirnya akan mati? Pasti. (QS. Ali Imran : 185)

Jika Albert Camus menyebut hidup itu absurd, banyak orang juga mungkin berpendapat bahwa hidup tidak memiliki makna yang inheren. Akan tetapi dengan naluri, semua percaya bahwa manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri. Tidak heran, bertebaran banyak quotes yang mengutip kalimat,”standar kebahagian orang itu berbeda-beda.”

Kita semua tahu, bagi anak-anak hidup adalah permainan. Bermain memang menjadi hal penting untuk mengeksplorasi hal-hal baru. Semua dari kita tentu hanya berpikir main-main dan bermain kala itu. Lantas saat tumbuh remaja hasrat rasa ingin tahu dunia kian membara. Fase Kinanthi, menurut tembang macapat jawa yang menyebutnya demikian.

Namun terkadang hasrat ingin tahu berlebih membahayakan banyak orang, beberapa orang di dunia ini mungkin menyesali atas hal yang tidak seharusnya mereka ketahui. Sehingga mereka (remaja) membutuhkan bimbingan orangtua.

Jika salah pergaulan, remaja bisa jadi salah jalan. Sebab, apabila hidup merupakan naluri, sedangkan naluri adalah hasrat memuaskan nafsu untuk mencapai keinginan tertentu. Maka fase remaja ini dapat terarah seperti yang dituang lewat lagu Band Efek Rumah Kaca berjudul “Kenakalan Remaja”.

Lepas dari masa remaja, tidak sedikit manusia sering merasa bingung. Kecemasan yang berlebih akan masa depan, tujuan-tujuan yang belum dipastikan hingga tekanan dari lingkungan memaksa manusia mencapai titik yang mereka sebut dengan ‘mapan’.

Fase ini terjadi kala seseorang mulai merasakan kebingungan, mencari jati diri, dan berusaha memahami arti hidup dalam berbagai filosofi. Banyak orang mengenalnya dengan istilah Quarter Life Crisis. Periode keraguan dan kebingungan yang dialami seorang menuju usia kepala tiga.

Padahal, hidup bukannya untuk mencapai kebahagiaan? Lantas mengapa adanya generalisasi atas standar kebahagiaan seseorang? Bagaimana bisa seseorang bisa mengatur kebahagian orang lain? Demikian seputar pertanyaan yang mewakili Gen-Z saat ini.

Namun hakikatnya manusia berakhir menjadi dewasa. Sikap bijaksana dalam menyikapi banyak hal yang terjadi, juga stabil dalam menghadapi emosi. Termasuk memulai untuk berdamai dengan diri sendiri dengan mengevaluasi yang telah terjadi di masa lampau.

Saat kecil mungkin kita bercita-cita menjadi seorang tentara. Saat dewasa, menyikapi mimpi yang kadang tak terwujud lebih mudah dengan lapang dada. Memang, penyesalan terkadang ada, namun tetap berdiri di atas batas garis kehidupan yang akan tetap berlangsung adalah prinsip dari manusia itu sendiri. Naluri.

Selagi masih memiliki naluri, situasi apapun yang tengah dihadapi akan membuat seseorang bertahan dan beradaptasi. Seperti Anda yang membaca hingga akhir demi memahami esensi tulisan singkat dan sederhana ini. Terimakasih.

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Bagikan:

Iklan