Adi Gunawan
Beranda Blog Opini Jujur, Kenaikan UMP Lampung Memang Harus Minimum, Jangan Berharap Bisa Maksimal

Jujur, Kenaikan UMP Lampung Memang Harus Minimum, Jangan Berharap Bisa Maksimal

Baru-baru ini Gubernur Lampung mengumumkan Upah Minimun Provinsi. Ya, namanya juga minimun ya memang harus minim, jadi jangan berharap lebih.

Terbitan Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor G/720/V.08/HK/2022 tertanggal 26 November 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung Tahun 2023 memang sedikit bikin dilema. Kabarnya kenaikan UMP 2023 hanya sebesar 7,9 persen.

Entah harus menyambut kabar kenaikan ini dengan bahagia atau memang jadi momen untuk melatih mental kesabaran sebagai budak korporat.

Tetapi rievew jujur nih, dua angka yang dipisahkan dengan koma itu memang bikin sakit mata. Apalagi di tahun 2022, UMP Lampung sebelumnya sebesar Rp 2.432.001 perbulannya. Lalu meningkat di tahun 2023 nanti menjadi Rp2.633.284,59.

Kenapa? ribet ya membaca bilangannya. Padahal, kalau UMP naik 10 persen saja masih ribet baca bilangannya. Eh tahun ini cuma 7 persen, terus ada komanya lagi.

Jadi nggak heran kalau warga kita memang suka membulatkan bilangan. Karena salah satu penyebabnya mungkin mata secara spontan menolak untuk membaca. Apalagi harus hitung-hitungan berapa kenaikan persisnya.

Kalau dihitung-hitung kenaikan UMP sebesar 7,9 persen itu jumlahnya hanya Rp192.789,41. Nilai segini banyak yang bilang itu kecil. Yah, memang kecil sih.

Tetapi kalau bicara kenaikan UMP yang signifikan rasa-rasanya cuma jadi halusinasi. Sebab kenaikan dengan angka yang seuprit itulah realita dan fakta yang terus terjadi.

Jujur saja, saya nggak menolak kok kalau misalkan pemerintah menaikan UMP menjadi Rp3 juta atau Rp4 juta. Misalkan lho, ya.

Tapi bukan berarti saya protes kalau UMP Lampung itu naiknya irit-irit. Pasalnya, dibandingkan tahun lalu, kenaikannya UMP 2022 hanya sebesar 0,35 persen, dengan nominal Rp8.484,61.

Bayangin, delapan ribu rupiah! Itu kan nggak cukup untuk beli BBM seliter? Jangankan beli pertalite, bahkan duit segitu terkadang bikin kita sungkan untuk beli gorengan.

Tetapi bukan berarti kita harus manja. Setidaknya, dengan naiknya UMP yang hampir Rp200 ribu itu sudah lumayan lho untuk bawa gebetan nonton di malam minggu.

Lagipula naik atau nggaknya UMP, dari tahun ke tahun kita tetap bisa menikmati gaji yang cukup bukan? Potongan BPJS Ketenagakerjaan dan kesehatan nyatanya tetap lancar. Belum koperasi dan ini itu. Tetap berjalan mulus.

Tetapi terkadang saya juga berpikir, apa mungkin penyebab UMP selalu minim karena pemerintah takut biaya hidup naik? Apa pemerintah takut naiknya UMP bikin warganya jadi doyan pamer berjamaah karena gajinya gede-gede?

Atau, apa mungkin karena takut warganya nggak mempertahankan lagi kultur ‘gaya elit ekonomi sulit’?

Terus kalau UMP naik besar, gimana nasibnya kaum-kaum yang hobi main ‘Petir Zeus’? Kan kasihan, karena perkara UMP naik, gaji mereka jadi tersisa nggak seberapa. Padahal mereka itu sudah memegang teguh prinsip all out lewat pertarungan keberuntungan lho.

Namun terlepas dari itu semua, alasan terutamanya bisa jadi karena sebuah istilah. Namanya Upah Minimum ya harus minim, nggak mungkin jadi Upah Maksimal. Kecuali kalau pemegang kebijakan berubah pikiran.***

Bagikan:

Iklan