Ramadhan, Kota dan Manusia Gerobak Bersemak di Jalan Raya
Dewasa ini keadaan sosial di Indonesia masih menjadi sorotan tajam. Namun yang begitu mencolok yaitu adanya kesenjangan sosial. Seperti manusia gerobak, sebuah fenomena langganan di bulan Ramadhan.
Selain gelandangan dan pengemis, adanya fenomena manusia gerobak menjadi bukti nyata keberadaan para penyintas masalah kesejahteraan sosial yang semakin meningkat. Terlebih di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Bila diamati fenomena manusia gerobak akan mulai nampak pada kalanya memasuki bulan Ramadhan. Semakin mendekati Hari Raya Idul Fitri, jumlah penyintas ini akan terus meningkat berkali lipat.
Tentu pemandangan yang kurang mengenakkan seperti itu hanya terjadi di kota-kota besar. Di Kota Bandar Lampung misalnya, melihat fenomena tahun sebelumnya, puluhan hingga ratusan manusia gerobak berbaris rapih di jalan protokol.
Motif manusia gerobak sendiri tidak lain adalah mengharapkan perhatian dermawan. Faktor ekonomi, lingkungan, pandemi hingga alih profesi, menjadi hal yang utama bila pertanyaan menghujani mereka.
Bahkan tidak sedikit manusia gerobak membawa anak-anak untuk menarik empati para pengendara.
Bicara konstruksi realitas sosial pada fenomena manusia gerobak ini, Berger dan Luckman menyebutkan bahwa seseorang hidup dalam kehidupannya mengembangkan suatu perilaku
yang repetitif, yang mereka sebut sebagai “kebiasaan” (habits). Kebiasaan ini memungkinkan seseorang mengatasi sesuatu situasi secara otomatis. (Kuswarno, 2009: 112).
Sementara istilah manusia gerobak sendiri sejatinya ditujukan bagi para tunawisma yang memilih hidup di jalan raya. Mengumpulkan barang bekas dengan sebuah gerobak adalah mata pencaharian utamanya.
Namun, motif manusia gerobak di bulan Ramadhan adalah modus belaka. Apabila disandingkan dengan seorang pemulung, hal yang membuatnya berbeda yaitu perilaku.
Dimana pada umumnya pemulung akan berkumpul ketika sebuah acara besar digelar. Mereka menanti jejak-jejak barang bekas yang tergeletak dan menjualnya kembali nanti.
Sedangkan fenomena manusia gerobak di bulan Ramadhan tidak melakukan aktivitas apapun, selain duduk diatas trotoar dan menanti seorang menghampiri, baik pengendara maupun pejalan kaki.
Mereka akan lebih banyak muncul di sore hari dengan dua tipe properti yang digunakan; gerobak dan karung, plus dengan pakaian lusuhnya.
Padahal, untuk efektifitas mengumpulkan barang bekas, seperti pada umumnya pemulung akan berkeliling kota di waktu fajar, lepas adzan subuh berkumandang.
Hal itu dikarenakan pemulung menghindari terik matahari di bulan Ramadhan karena tengah menunaikan ibadah puasa.
Terlebih sampah-sampah yang tertumpuk di kota akan diangkut dengan sebuah truk menuju tempat pembuangan akhir (TPA). Mereka memburu waktu untuk mendahului itu.
Hakikatnya keberadaan manusia gerobak ini perlu dilakukan pendataan oleh Dinas Sosial. Sebab jika tidak ingin menjadi pemandangan lusuh di kota, tentu perlu dilakukan tindakan, bukan hanya sekedar bentuk kata saja.
Sebab bagaimanapun manusia gerobak merupakan salah satu yang menjadi perhatian dalam penanganan PMKS. Karena keberadaannya sejatinya adalah dampak dari ekonomi yang sulit dan kian melilit.
Dalam hal ini pendataan perlu dilakukan agar mereka mendapatkan bantuan sosial. Jika tidak, fenomena manusia gerobak akan menjadi kultural di Indonesia, terutama saat memasuki bulan Ramadhan. Baik Ramadhan tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya.
Meski harus diakui pula sebagian besar dari mereka sengaja melakukannya sebagai modus mencari pendapatan tambahan.
Namun dalam kacamata ekonomi sosial, fenomena manusia gerobak adalah potret meningkatnya kemiskinan di kota.***