Adi Gunawan
Beranda Blog Opini Refleksi Kritis tentang Pendidikan Dasar Pecinta Alam: Memastikan Keselamatan dan Kemanusiaan

Refleksi Kritis tentang Pendidikan Dasar Pecinta Alam: Memastikan Keselamatan dan Kemanusiaan

Pendidikan Dasar (Diksar) adalah langkah awal yang penting dalam dunia pecinta alam, menjangkau siswa, mahasiswa, dan berbagai organisasi. Sayangnya, setiap tahun kita mendengar berita tragis tentang korban yang jatuh dalam kegiatan ini, sebagian besar adalah peserta didik atau junior yang baru bergabung.

Dampak dari insiden ini sangat luas. Tidak hanya organisasi yang terlibat yang mendapat stigma negatif, tetapi juga komunitas pecinta alam lainnya yang tidak terlibat. Pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk membentuk karakter dan keterampilan, tetapi kenyataan pahit menunjukkan bahwa Diksar seringkali berujung pada kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi.

Alasan utama mengapa Diksar itu penting adalah untuk mempersiapkan anggota menjalani kegiatan di alam bebas. Melalui pelatihan yang tepat, diharapkan mereka bisa menjadi individu yang tangguh. Namun, beberapa kasus “Diksar Maut” menunjukkan bahwa praktik kekerasan sering mendominasi, didorong oleh tradisi senioritas yang berbahaya.

Ketika korban jatuh karena kecelakaan tak terduga, mungkin kita masih bisa memakluminya. Namun, kekerasan yang dilakukan dengan sengaja adalah hal yang tidak bisa diterima. Banyak tradisi kuno, seperti caci maki dan kontak fisik yang tidak perlu, hanya menambah luka dan merendahkan martabat peserta didik. Apa sebenarnya manfaat dari menghujani mereka dengan kata-kata kasar?

Tidak jarang, kontak fisik menjadi lebih ekstrem—dari dorongan hingga penamparan. Memang ada banyak cara untuk melatih fisik tanpa harus merendahkan orang lain. Push up, misalnya, sudah cukup efektif tanpa harus melibatkan ancaman yang berbahaya.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika saya menyaksikan seorang junior diancam dengan golok saat berusaha melakukan push up. Ini bukan hanya absurd, tetapi juga menunjukkan betapa jauhnya kita menyimpang dari tujuan pendidikan. Tindakan ini bukan lagi sekadar pelatihan, melainkan menjadi pertunjukan kekerasan yang tidak bermartabat.

Kasus-kasus tragis seperti ini tidak seharusnya terjadi. Setahun setelah insiden yang saya sebutkan, berita tentang seorang peserta yang tewas dan lainnya yang dilarikan ke rumah sakit kembali menghantui kita. Di mana letak Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam kegiatan Diksar? Di banyak organisasi, SOP ada, tetapi ada juga yang tidak memiliki aturan jelas, sehingga kegiatan sering kali dilakukan dengan asumsi semata.

Tanpa adanya panduan yang jelas, siklus kekerasan tidak dapat terhindarkan. Ketika peserta didik dihukum tanpa penjelasan yang logis, maka dendam dapat muncul, yang berujung pada siklus balas dendam yang tidak ada habisnya. Instruktur harus memahami bahwa memberi hukuman bukan hanya untuk melatih, tetapi juga untuk mendidik.

Keberadaan SOP yang jelas dan pengawasan yang baik dari senior sangatlah penting. Jika setiap kegiatan dilaksanakan dengan memperhatikan pedoman yang ada, risiko kekerasan dapat diminimalisir. Pengalaman yang dibagikan seharusnya menjadi pelajaran, bukan warisan perilaku yang menyakitkan.

Generasi baru harus memahami etika berkegiatan di alam bebas, bukan terjebak dalam ranjau kekerasan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa tujuan Diksar, yaitu membangun karakter dan keterampilan, tidak berujung pada tragedi. Mari bersama-sama memperbaiki dan mereformasi Diksar agar tetap relevan dan aman bagi semua peserta. Terima kasih.

Bagikan:

Iklan