Sewindu: Pembayaran – Chapter 4
Grace akhirnya tersadar dari tidur panjang selama sepekan. Dalam keadaan linglung ia coba mengingat kembali apa yang telah terjadi. Ayahnya, saat ini tidak diketahui keberadaannya. Tim medis yang lebih pantas disebut astronot datang melakukan pengecekan fisik Grace. Suster Jenie inilah yang merawat Grace dalam sepekan ini. Dia menenangkan Grace dan memberitahu keberadaan Ayahnya yang masih tertahan di pusat tempat isolasi. Mendengar itu Grace pun menghela napas.
Grace bertanya,”Sus, darimana asal virus ini? Kenapa bisa seseorang mendapatkan virus dalam tabung, apakah virus ini ciptaan manusia?”
Jenie hanya tersenyum, meskipun menggunakan masker, senyumannya dapat dilihat dari alis dan matanya. Sembari melepaskan infuse yang terhubung ke tangan Grace.
Jenie berkata,”besok, Anda boleh pulang. Anda telah memiliki kekebalan tubuh yang cukup untuk menangkal jenis virus yang telah bertarung di dalam tubuh anda selama sepekan ini. Namun, bukan berarti anda kebal terhadap virus tawa ini. Sebab virus ini telah bermutasi, jadi anda harus lebih berhati-hati.”
“Apakah orang sipil sepertiku dilarang mengetahui darimana asal virus yang telah menyatu dalam tubuhku sendiri?”
Peralatan medis yang tersebar di segala sudut pada ruangan putih kosong dan hampa itu dikembalikan ke tempat keberadaan yang seharusnya. Jenie melakukannya sambil bercerita bahwa asal muasal virus yang menyebabkan orang seperti giting itu-keadaan nyaman (yang sebetulnya semu) bagi pemakai narkoba-merupakan hasil mutasi virus orangutan yang sengaja dilakukan oleh seseorang yang belum diketahui siapa pelakunya hingga sekarang.
Virus ini bak seperti virus monyet gila yang sejatinya menular melalui nyamuk malaria. Beberapa tahun lalu kasus kematian orangutan menjadi sorotan dunia, para peneliti menduga ada dua kemungkinan yang menyebabkan kepunahan populasi orangutan. Pertama dikarenakan habitatnya yang semakin terancam, kedua adanya kelompok yang menciptakan virus dan melakukan ujicoba kepada orangutan.
Meskipun dugaan kuat mengarah pada faktor ke dua, saat itu pemerintah enggan memublikasikan hasil penelitian. Pemerintah beranggapan hal itu akan memperkeruh krisis ekonomi yang tengah memuncak di berbagai negara, kemudian pemerintah takut apabila isu beredar dapat menyebabkan krisis moneter yang berkepanjangan.
“Oleh sebab itu Kota Zero dipersiapkan dengan sedemikian rupa. Pemerintah telah mengetahui apa yang akan terjadi saat ini,” jelas Jenie.
“Bagaimana kau yakin sekali adanya seseorang yang melakukan ujicoba itu?”
“Aku adalah salah satu tim peneliti yang berhasil melarikan diri.”
Grace tertegun, ia kembali bertanya,”kemana rekan-rekanmu saat ini.”
Jenie hanya membalas dengan satu kata,”mati.”
Suasana nampak membeku. Padahal pendingin ruangan sudah cukup membuat tubuh Grace menggigil. Jenie lalu menjelaskan bahwa rekan-rekannya yang tergabung dalam tim penelitian dibantai dengan tanpa rasa kemanusiaan. Bukannya mendapatkan apresiasi, ratusan tim peniliti itu harus mati setelah mengungkap kejahatan.
“Aku tidak begitu mengerti kebijakan pemerintah yang berpedoman dengan kepentingan orang banyak. Aku hanya mengingat sebuah perkataan seorang bertopeng yang hendak menyekapku,’jangan biarkan peneliti itu hidup, mereka terpapar virus yang sangat membahayakan, saat itu aku sedang bersembunyi.”
“Bagaimana kau bisa begitu tenang dalam pekerjaan ini sedangkan menjadi buronan kelas kakap?”
“Tidak. Posisi ini seharusnya diisi saudari kembarku. Suatu saat mereka harus membayar itu,” Jenie mengulurkan tangan memberikan Grace sebuah kartu nama.
“Ini akan membantumu suatu saat,” kata Jenie sambil meninggalkan ruangan.
Di depan pintu, seorang pria berjaket kulit bersandar di dinding. Kedua tangannya dilipat di atas dada. Ia berkata,”seharusnya kau tak perlu berbohong kepadanya.”
Jenie tak menggubris, ia beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Pria itu pun berusaha menyusulnya dengan beragam pertanyaan akan sebuah rencana restorasi dan balas dendam.
“Kau tahu, Al. Kehilangan satu-satunya orang yang kita cintai itu sangat menyakitkan. Kau tak akan bisa mengerti. Dan kau tahu, perempuan itu baru saja pulih.”
“Kenapa kau memilihnya untuk bergabung?”
“Entah, aku meyakini dia mampu dan memiliki tekad yang sama denganku. Aku merasakan dia memiliki kemampuan yang terpendam.”
***
Rombongan pejabat melintasi pemukiman Kota Zero dengan pengawalan yang sangat ketat. Di hari itu diagendakan sebuah pertemuan besar membahas proyeksi penyelesaian akar masalah pandemi wabah. Tampak seorang seperti tunawisma yang kurang waras mengolok-olok rombongan yang melakukan peninjauan dengan berjalan kaki itu.
Dia bernyanyi dengan nada sumbang,”manusia membayar semuanya. Sisa-sisa. Sia-sia. Percuma. Hutan hancur lebur, binatang mati. Hayo siapa yang jadi tumbuhan? Manusia ditanam. Hayo siapa yang akan jadi binatang? Anda mau Presiden?”
Presiden bertanya kepada Wali Kota Zero,”bagaimana bisa orang gila itu bisa berada di kota ini? Bukankah para pemilik bunker menarif harga yang begitu tinggi?”
“Izin Pak Presiden, dia adalah ayah dari salah satu seorang pemilik saham terbesar proyek Kota Zero ini,” jawab Wali Kota,”anda tidak perlu khawatir Pak Presiden, semua penduduk di kota ini telah dinyatakan bebas dari virus melalui penelitian medis.”
Nyanyian tunawisma itu terhenti,”hai, Nona. Apa orang tua sepertiku ini baru pertama melihatmu di kota ini?”
“Wah, Anda benar, Pak. Saya baru datang di hari ini.”
Sambil membangkitkan tubuhnya yang bergetar ia mengajak Grace singgah di bungker miliknya,”Nona sangat cantik, maukah berkenalan dengan anak laki-lakiku?”
Grace tersenyum. Ia merasakan sosok Ayahnya pada orang tua tersebut. Dia pun tidak keberatan untuk singgah di bungker milik keluarga orangtua yang biasa dipanggil Jack oleh warga kota.
“Oke baiklah, Nona. Ikuti aku,” sambil melangkah Jack bertanya,”ohiya, apakah kau datang ke kota ini sendiri?”
“Aku belum mengetahui dimana keberadaan ayah saat ini, kami terpisah,” jawab Grace.
“Ohh baiklah. Aku tidak keberatan jika orang gila ini dipanggil Ayah oleh anak perempuan cantik sepertimu.”
“Ahhh.. baiklah, Ayah!”
“Siapa namamu, Nak?”
“Grace.”
***