Adi Gunawan
Beranda Blog Cerita Fiksi Sewindu: Penawar – Chapter 3

Sewindu: Penawar – Chapter 3

rumah sakit/ Freepik.com

Ruang Isolasi Blok B Pusat Imigrasi Kota Zero mendadak ricuh. Tubuh Grace teramat dingin. Pucat pasi. Jalan sudah goyang, dada amatlah sesak. Napas satu-satu, berat sekali baginya.

50 menit sebelum kericuhan di Ruang Isolasi Blok B terjadi”

Tepat pukul 10.00 PM, Thomas dan David bergegas. Keduanya melancarkan aksi yang sudah direncanakan sebelumnya. Memasuki sebuah lorong berdinding baja, mereka membuntuti dua petugas yang tengah berjaga.

“Ssttt,” sebuah sinyal dipancarkan dari Thomas kepada David. Keduanya langsung membekap dua petugas hingga tak sadarkan diri. Pakaian yang dikenakan kedua petugas itu pun dilucuti, lengkap dengan sebuah senjata api. Hanya 20 menit, waktu yang dibutuhkan untuk membuat kericuhan sebelum petugas siuman.

“Thom, gawat! Virusnya hilang,” kata David.

“Apa? Kau gila. Bedebah, kita tak ada waktu untuk mencarinya.”

“Bagaimana ini?”

“Gunakan ini, tancapkan ke anak perempuan itu,” pinta Thomas, kemudian David memimpin arah tujuan. Sebelum aksi ini dilancarkan, dirinya telah mengikuti di mana ruang Grace dan Ayahnya menjalani isolasi.

Hingga tibalah keduanya di depan Ruang 103 B. Pintu dalam dalam keadaan terkunci. Thomas menggedur penghalang baja itu dengan cukup kuat,”Cepat buka pintunya, ini Petugas!”

Pada saat itu Grace sudah tertidur lelap, sementara Ayah yang mendengernya bergegas meraih handle pintu.

“Ada apa ini?” tanyanya.

“Izinkan kami masuk untuk pemeriksaan,” jawab Thomas, sembari bergegas masuk ke dalam ruangan.

“Dapatkah kami memeriksa kartu bungker kalian?”

Ayah Thomas menyadari sebuah kejanggalan. Dari seluruh petugas sipil yang ditempatkan di Ruang Isolasi ini tak ada satu pun yang memiliki janggut. Semuanya berpenampilan rapih bam seperti seorang prajurit. Sementara Thomas dan David, seragam yang dirampasnya dari petugas itu pun dikenakan dengan seadanya. Kancing baju tidak semuanya masuk ke lubang, baju pun tidak dimasukkan ke dalam celana.

“Hey-hey-hey, ada apa ini, kenapa kalian tergesa-gesa?”

“Cepat Orang Tua! Ini perintah!” sahut David.

“Bukankah kalian seorang sipil? Jikapun prajurit, tak pantas kalian membentak orang tua sepertiku.”

“Apa kau bilang? Kau tidak tahu siapa kami, Ha!” Thomas menggenggam kerah kemeja yang dikenakan Ayah Grace.

“Kau pikir aku takut?” sahutnya.

“Dasar bodoh! David!” mata Thomas melirik ke arah Grace yang mulai merasakan kebisingan yang terjadi. David langsung membekap Grace, lengkap dengan sebuah tabung kecil dengan jarum di ujungnya.

“Jika kau tak ingin menyerahkan tiket itu, putrimu akan terinfeksi!” bisik Thomas.

Ayah Grace menelan liur. Satu tetes keringat jatuh ke lantai dari dahinya. Ia panik,”Whoooah… Tenang kawan, kau ingin tiket? Baik-baik.”

“Lepaskan aku bedebah!” pekik Grace.

Suasana menegang. David juga berkeringat saat mengetahui waktu berdetak cepat. Hanya sisa 2 menit untuk dua petugas malang itu sadarkan diri,”cepatlah, Orang Tua!”

Ayah Grace mengangkat tiket di atas kepalanya, perlahan ia menghampiri David. Selangkah demi selangkah, kaki diseretnya dengan perlahan,”Oke, lepaskan dulu dia.”

“Hahahaha, Bodoh!” Thomas dengan mudah mengambil tiket dari belakang. Sementara David langsung menancapkan tabung hingga menyatu dengan kulit lengan Grace.

“Agghhhhhhh!”

“Tidaaaaakkk!” Ayah Grace menghampirinya lalu segera mencabut tabung kecil itu.

“Dasar keparat!” kata Thomas, bergegas melarikan diri.

Sirine kencang berbunyi. Gedung Berkedip mendadak berubah menjadi merah,”Sial, dua pecundang itu sudah sadar.”

Keduanya lantas kembali ke ruangan. Mengganti pakaian, mencukur rambut, apapun mereka lakukan untuk menghapuskan jejak. Semua itu dilakukan dengan cepat.

Situasi mendadak mencekam. Kabar Grace terpapar virus tawa beredar dengan pesat. Seluruh petugas kini telah mengenakan alat pelindung diri. Sementara para penghuni sibuk berlari, mereka membayangkan Grace akan menularkan ke seluruh ruangan. Beberapa petugas datang ke ruangan. Ayah dan anak perempuannya terpaksa dipisahkan.

“Ternyata kena juga. Ya Tuhan.”

Ini kali pertama Grace naik dan merebahkan diri di dalam ambulance. Menggigil. Pertama kalinya ia menahan tawa sampai berkeringat di seluruh tubuhnya. Demam, wajah sedikit lebam. Sepertinya dua kali per jam harus mengganti baju.

Sirinenya meraung panjang, membelah Kota Zero yang sepi menjelang dinihari, lengkap dengan pengawalan ketat. Kantor Berita Kota Zero telah bergegas mengabadikan momen langka dalam masa-masa mencekam.

Malam telah memanjat jauh ke depan. Sebentar lagi dinihari. Grace tersenyum lebar menahan lepas tertawa terbahak-bahak. Tim medis bilang kepadanya, virus tawa ini akan lebih cepat menyebar ke dalam tubuh apabila pasien terinfeksi tak bisa menahan tawa.

“Ya Tuhan, apa ini, paru-paru serasa pecah. Apa yang lucu, kenapa sesulit ini untuk menahan tawa,” gumam Grace, petugas lantas membekap mulutnya dengan sebuah karet.

“Maaf Ny. Grace, kamar rawat khusus pasien terinfeksi kami penuh. Silahkan Anda mencari rumah sakit lain saja,” kata suster sembari memperbaiki infus Grace yang mengeluarkan darah.

Dalam keadaan terhenyak, Grace setengah mati berusaha menghubungi Ayahnya. Mereka berdua terpisah saat ricuh tadi. Sementara petugas medis sibuk mencarikan ruangan untuk Grace agar mendapatkan perawatan intensif.

Bergelut dengan sesak dan keringat. Akhirnya, dalam kalut dengan suhu tubuh teramat panas mendadak dingin, Grace tiba di salah satu ruang hampa. Yang pasti, oksigen di hidungnya membuat penglihatannya terus memudar. Ia pun akhirnya pingsan.

“Apakah perempuan itu tidak apa-apa?” tanya David.

“Hey, kau ini kenapa, itu hanyalah virus tawa jenis pertama. Tidak akan membuatnya mati.”

Dengan adanya kericuhan itu petugas melakukan pendataan ulang. Sebagian pendatang keluar ruangan isolasi dan memutuskan untuk kembali. Sebagian pendatang yang memiliki tiket ekslusif dipindahkan ke tempat isolasi Blok A sementara, termasuk David dan Thomas.

***

Bagikan:

Iklan