Adi Gunawan
Beranda Blog Cerita Fiksi Sewindu: Pengungtit – Chapter 2

Sewindu: Pengungtit – Chapter 2

Ilsutrasi Mata-mata/Freepik.com

Di sudut perbatasan Kota Zero mendapatkan pengawasan ketat. Ribuan personel gabungan yang merupakan tentara dan kepolisian melakukan penjagaan selama dua puluh empat jam, dengan pergantian sift secara berkala.

Penduduk asing dilarang memasuki kota ini sejak pertama kali para pemimpin dunia mengumumkan situasi pandemi. Dengan penjagaan yang ketat inilah yang membuat Kota Zero nampak seperti sebuah penjara raksasa. Batas kota dipagari tembok besi yang mengeluarkan sengatan listrik. Setiap kurang dari seratus meter terdapat sebuah pos jaga yang dahulu bersifat sementara, kini telah menjadi bangunan permanen. Lengkap dengan fasilitas penunjangnya.

“Kau dengar kabar virus di luar sana telah bermutasi?” tanya seorang prajurit kepada rekannya.

“Tidak. Kau tahu, kota ini hanyalah satu-satunya yang damai. Bagaimana cara kau mendengar kabar virus di luar sana telah bermutasi?”

“Aku dengar situasi di luar semakin genting. Para penderita yang terpapar virus tawa dapat berhalusinasi tinggi. Bahkan mereka menjadi seperti kanibal yang memakan kerabatnya sendiri.”

“Benarkah? Kau serius?”

“Aku melihat dari dark web. Kau bisa cari info lebih di sana. Banyak sekali menampilkan hasil retasan rekaman CCTV yang cukup menggemparkan.”

“Kalau begitu, kenapa kau tidak lapor ke komandan?”

“Hahaha… Bukannya pusat pemerintahan satu-satunya tempat yang bebas mengakses informasi dari luar wilayah?”

“Haha. Iya, Aku lupa.”

Sementara di dalam kota, aktivitas berlangsung seperti biasa. Kota ini hanyalah satu-satunya wilayah yang terbebas dari virus tawa. Penduduk pun masih berkegiatan dengan normal, tanpa menggunakan masker atau alat pelindung apa pun.

Sebagai salah satu kota terkaya di dunia, penduduk Kota Zero merupakan kaum elit. Isinya pun dari berbagai manca negara. Dunia pun berprasangka bahwa para Globalis–sekelompok elit yang menguasai dunia–menetap di kota yang luasnya kurang dari seratus kilometer persegi ini.

Eksekutif (pemerintah) yang diizinkan menetap di Kota Zero hanyalah Presiden dan sejumlah Menteri, Jenderal, Staff Ahli Negara, Teknisi dan para ahli lainnya dengan berbagai latar kemampuan, sesuai yang dibutuhkan pemerintah untuk membangun peradaban baru–mereka menyebutkan dengan istilah ‘Pemerintahan Dunia’.

Mereka diberi fasilitas dengan kelas yang berbeda-beda. Di pusat pemerintahan inilah satu-satunya gedung tinggi menjulang. Namun tingginya hanya sampai empat lantai–bekas pusat pemerintahan wali kota sebelum pandemi ditetapkan.

Selebihnya, bangunan di Kota Zero hanyalah satu lantai. Kota ini hampir nampak seperti sebuah pemukiman kuno. Tidak lebih. Lebih tepatnya mirip sebuah peradaban kerajaan, namun tanpa sebuah istana.

Meski menjadi kota yang paling aman dari virus mematikan, Kota Zero sepi aktivitas. Jangankan kendaraan sport melintas, seorang traveler dengan ransel dipundaknya tidak akan nampak di kota ini, hanya ada aparat keamanan yang berjaga. Lalu kemana penduduk kota?

Selain dikelilingi tembok sebagai penghalang, ada satu titik yang dijaga ketat oleh aparat. Selintas, tempat itu seperti sebuah bilik kecil. Bahkan hampir mirip seperti toilet. Bilik ini merupakan akses yang tersebar di berbagai kota. Seluruhnya berjumlah lima.

Jika seseorang masuk ke dalamnya akan menemui sebuah tombol seperti lift. Di bawah kota inilah sekitar satu juta kaum elit bersinggah. Setiap keluarga memiliki bungker sebagai rumah.

Ini dia, Kota Zero, peradaban baru di dalam tanah.

***

Grace, tengah menjalani isolasi di pusat transmigrasi di sudut Kota Zero. Dirinya membeli sebuah bungker kelas E senilai satu juta dolar Amerika atau sekitar tujuh puluh miliar rupiah, hasil dari seluruh profit perusahaan milik keluarganya.

“Padahal, dahulu, Ayah pernah mau beli bungker di sini, kan? Lihatlah, bungker yang hanya ratusan juta kini menjadi miliaran,” bisik Grace.

“Sudahlah, Nak, sebentar lagi kita akan hidup dengan damai,” tukas Ayah Grace, sembari memasuki ruang dengan tembok baja berlapis-lapis.

“Kau dengar, orang tua tak berguna itu memiliki tiket bungker kelas sedang,” kata seorang pria paruh baya yang menguntit perbincangan Grace bersama Ayahnya.

“Kau serius, Tom?”

“David, dengarkan aku baik-baik. Aku memiliki rencana bagus!” timpalnya.

“Apa maksudmu, kau ingin merebut tiket darinya? Kau gila, Thomas. Kau gila!”

“Jangan terlalu keras!” kata Thomas, sembari menginjak kaki David dan segera membekap mulutnya,”kita hanya memiliki tiket kelas Z. Kau tahu, fasilitas bungker kelas E termasuk kelas elit.”

“Tapi bagaimana jika petugas mengetahui rencana kita?”

“Tidak akan jika kau tak banyak bicara!”

***

Bagikan:

Iklan