Adi Gunawan
Beranda Blog Cerita Fiksi Sewindu: Pertemuan – Chapter 5

Sewindu: Pertemuan – Chapter 5

Ilustrasi bunker/ freepik.com

Pria tua itu sampai di tujuannya. Grace tak menyangka, orang yang dianggap gila oleh penduduk kota memiliki bungker kelas A. Padahal, semua orang tahu, bungker kelas A merupakan aset yang dapat dimiliki oleh orang terkaya di dunia. Bahkan sekelas menteri hanya diberikan fasilitas bungker kelas B.

Cukup lama Grace tertegun, pakaian lesuh yang dikenakan oleh pria tua itu bagaikan tak sebanding dengan ruangan yang ia cermati. Ibarat hotel, Bungker Kelas A seperti Presidential Suite, bahkan dua kali lipat dari puncak tertinggi layanan menginap para Very Important Person (VIP).

“Biasanya sekitar setengah jam mendatang putraku pulang. Kami hanya tinggal berdua di sini. Yah, aku pun tak berharap dapat menikmati hari tua di penjara,” gumam Jack.

Seorang wanita datang dengan segelas minuman. Grace masih tidak percaya, peradaban manusia beralih ke dalam tanah. Tidak. Ia justru menganggap kota ini adalah hotel bintang lima raksasa. Lengkap dengan welcome drink yang ia terima.

“Silahkan dinikmati, Nyonya,” sapa asisten perempuan di bungker itu.

Di sisi lain, Jenie bersama lelaki itu melangkah di sebuah lorong. Setiap bungker di kota ini dihubungkan dengan lorong yang biasa menjadi akses penghubung pada sebuah pertambangan emas. Namun pembedanya, setiap lorong didesain dengan panorama menyerupai tampilan kota, sehingga penduduk tak mungkin tersesat. Hal itu juga merupakan upaya agar penduduk kota tidak begitu stress dengan keadaan yang ada.

“Pip-pip-pip,” suara alarm kecil berbunyi dari pintu Bungker Jack. Tak lama seorang sepasang perempuan dan lelaki masuk.

“Alvaro! Putraku. Hey-hey-hey, lihat siapa dia,” Jack berdiri dari sofa minimalis berwarna jingga. Dengan gembira ia menghampiri mereka.

“Hey, Jenie! Putriku. Ke mana saja, kau tak rindukah dengan Pamanmu yang tua ini?” sambut Jack, lekas memeluk Jenie.

Grace terkejut, namun ia lebih memilih untuk diam. Mengalir dengan pertemuan keluarga kecil yang membuatnya gelisah untuk turut berempati atau bersimpati dengan dirinya sendiri.

“Ahh Paman, kenapa kau begitu bau. Apa Alvaro terlampau sibuk dan tidak merawatmu?” gurau Jenie, sambil menyium pipi Jack.

“Wahh kamu nampaknya begitu mendalami peranmu Jenie. Andai saja Yenie ber-“

“Cukup, Paman. Jika ingat itu rasanya seperti ingin menembak kepala seluruh tetanggamu di bungker ini,” Jenie memenggal perkataan Jack, sambil perlahan melepaskan pelukannya.

Sementara Alvaro justru terbahak,”Hahaha. Ayah, kau pandai memainkan perasaan seseorang.”

“Grace, bagaimana kau bisa berada di sini?” tanya Jenie, yang telah mendaratkan tubuhnya di sofa.

“Ahhh, itu,” baru saja Grace mencoba menceritakan pertemuannya dengan Jack, Jenie justru mengumpat Pamannya itu.

“Apa kau diculik dengan orang gila itu? Hahaha,” gurau Jenie.

“Hey, aku tidak gila. Aku orang yang merdeka,” kata pria mantan nomaden–berbagai komunitas yang memilih hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain–itu.

Dengan mulut yang melebar, Alvaro merangkul ayahnya untuk duduk bersama. Ia mengangkat kedua alisnya, memberi isyarat kepada Jenie. Menurut Alvaro saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran yang telah terjadi.

“Jenie, dengarkan aku baik-baik. Aku tidak bermaksud untuk merahasiakan darimu. Aku sengaja meminta pertolongan Paman melalui Alvaro untuk membawamu ke sini,” jelas Jenie.

Wajah Grace yang sebelumnya tersenyum manis berubah menjadi sedikit sinis. Kulitnya yang putih dengan rambutnya yang saat ini sedang terikat mendukung jelas ekspresi yang penuh dengan tanda tanya.

“Apakah kau ingat bagaimana peristiwa perampasan tiket bungker yang kamu miliki?” tanya Jenie.

Grace hanya menggelengkan kepala.

“Temanku memberi kabar bahwa Ayahmu tewas dalam tragedi itu,” ungkap Jenie.

Sontak, kabar duka yang menimpa ayahnya membuat air matanya pecah. Tanpa ekspresi air bercuruan deras keluar dari mata Grace. Seisi ruangan tahu, Grace saat ini hanya berpura-pura tabah. Mereka yakin, perempuan feminim itu menahan diri untuk meluapkan amarahnya.

Jenie pun bangkit dan mendekatkan diri dengan Grace. Ia langsung memeluknya. Seolah melalui batin ia berkata,”tak apa, jika kau ingin menangis, menangislah. Jika kau ingin menjeritlah. Kau akan lekas membaik setelah itu.”

Pesan batin itu sampai dengan sempurna. Tak butuh waktu lama Grace meluapkan emosinya, ia menjerit sejadi-jadinya. Wajah yang sebelumnya biasa saja kini berubah tak karuan, meskipun tidak sedikitpun mengurangi parasnya yang cantik. Ia memeluk Jenie dengan erat, semakin masuk dalam amarahnya.

Cukup lama Grace menangis, namun Jenie tidak juga meninggalkannya. Jenie mengerti apa yang dibutuhkan Grace saat ini. Pelukan hangat yang dapat menyelamatkan seseorang yang sedang sangat-sangat terpukul untuk segera bangkit dari keterpurukan.  Persis seperti saat kehilangan saudari kembarnya, Yenie, kala itu.

Setelah membaik, Alvaro berinisiatif memberikan refleksi kepada Grace. Ia meminta asisten bungker untuk menganti air kolam yang dingin menjadi hangat.

“Grace, sepertinya kau perlu menghangatkan tubuh agar lebih baik.”

Jenie lantas melepaskan pelukan dan merangkul Grace untuk bangkit. Mereka berdua menghabiskan waktu sore di kolam pemandian.

Alvaro datang, lalu berkata,”Grace, kau bisa menggunakan kamar itu,” sambil menunjuk ke sebuah kamar yang dimaksud.

“Wahhh putraku, kau romantis. Tidak salah aku mempertemukan kalian berdua,” pekik Jack, yang hanya menampakkan kepalanya saja dari sebuah pintu kamarnya.

Bola mata Alvaro membesar, tatapan tajam yang tertuju kepada Jack itu mengisyaratkan saat ini bukan waktu yang tepat untuk bergurau. Namun karena kelakuan Jack, Grace justru mampu kembali tersenyum. Ia kini merasa telah lebih baik.

“Jenie, kenapa kamu begitu baik kepadaku?” tanya Grace.

Jenie hanya membalas,”kamu istimewa, kamu adalah orang yang baik. Dan sangat pantas diperlakukan dengan baik.”

“Bagaimana kamu begitu yakin, aku adalah orang yang baik?”

“Hanya orang baik yang mau berurusan dengan orang gila. Bahkan sampai mengantarkannya pulang ke rumahnya.”

“Heyy, Jenie. Aku dengar itu!” pekik Jack, di dalam kamarnya. Sontak, Grace dan Jenie pun tertawa.

“Tetapi bagaimana jika aku mengabaikan Ayah Jack. Maksudku, aku tidak menjumpainya?”

“Ahh, aku juga sudah mengabari temanku. Dia kepala kemanan di sini. Lagipula kamu tidak memiliki tiket bungker dan tidak akan bisa masuk, pasti kamu akan diamankan oleh aparat keamanan,” jelas Jenie.

“Ohiya, Grace, nampaknya kamu cukup tertarik mengenai virus. Apakah kamu ingin menguasai ilmu medis? Aku tidak keberatan mengajarkannya,” sambung Jenie.

“Hah, sungguh?”

Jenie mengangguk, lantas berteriak,”Paman, bolehkah Jenie pakai ruangan kerja Ayah untuk ruang penelitian?”

“Tentu saja sayang,” jawabnya.

“Kau tahu Grace, bungker ini tampaknya terlampau luas. Terkadang kita harus berteriak agar lebih merasakan kebebasan. Buat saja dirimu nyaman.”

***

Bagikan:

Iklan